Cerita Assed Lussak
Sekitar pertengahan tahun 2017, saya membaca pengumuman bahwa Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara (Ikastara) melalui Yayasan Tunas Bakti Nusantara akan menyelenggarakan semacam kegiatan bakti sosial di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengambil nama Bakti Nusantara. Sekali-dua kali membaca pengumuman, saya masih belum juga tertarik untuk mengikutinya. Hingga beberapa teman angkatan saya turut serta dan saya dihubungi oleh mereka serta beberapa adik kelas, saya akhirnya mendaftar sebagai relawan. Pada saat itu, bayangan saya menjadi relawan adalah menjadi anggota biasa yang akan menyumbangkan pikiran dan tenaga dalam waktu singkat mendekati hari pelaksanaan.
​
Menjelajah NTT sebagai Panitia
Dua bulan setelah pendaftaran, saya dihubungi oleh panitia inti yang memberitahu bahwa saya menjadi Ketua Tim Humas dan Publikasi. Kaget, saya sempat mengatakan kalau saya tidak berniat dan berminat menjadi ketua tim. Namun dengan alasan bahwa saya adalah orang pertama dari tim yang bisa dihubungi dan cukup senior (atau tua maksudnya) di antara para anggota, maka sayalah yang dipilih. Entah bisikan dari mana, saya menerima tawaran itu yang padahal saya tahu betul akan merepotkan saya.
​
Dalam perjalanannya, sekitar enam bulan bekerja, dinamika tentu banyak terjadi. Pindahnya anggota ke tim lain, kendala sulit dihubungi dan ketiadaan waktu, tipe anggota “hangat-hangat bakpao”, hingga yang sama sekali tidak pernah muncul; mewarnai dinamika tim. Permintaan dan tuntutan kepada tim yang kapabilitasnya tidak dimiliki oleh satupun anggota, juga sering muncul. Solusinya? Harus kreatif membagi tugas, meminta bantuan kepada mereka yang bukan alumni, hingga berjibaku kesana kemari, mencari alternatif solusi.
​
Berada di lokasi kegiatan menjadi hal yang lebih menantang lagi. Di antara semua panitia, saya adalah satu di antara sedikit relawan laki-laki yang bukan dokter. Di level panitia teknis, saya adalah satu dari tiga orang. Dari semua tim Humas dan Publikasi, hanya saya yang berangkat ke lokasi kegiatan. Sehingga seperti yang saya perkirakan, tak hanya mengerjakan bagian tugas saya di Humas dan Publikasi, saya turut membantu semua lini yang masih “bolong” dan memerlukan bantuan. Kerepotan karena selain harus mengerjakan tugas humas dan publikasi sendirian, juga harus berlarian membantu tim lain. Senang, karena memang sejak awal saya sudah niatkan untuk borderless, tidak membatasi bantuan yang bisa atau akan saya berikan.
​
Mengerjakan bagian humas dan publikasi pun menjadi hal yang sangat menantang. Dalam dunia kontemporer yang dipenuhi dengan hasrat narsistik, semua orang ingin menampilkan dirinya. Tak peduli apakah kontribusinya besar, kecil, atau bahkan tidak sama sekali, semua orang mencoba untuk mencari panggung. Alhasil beberapa kejadian yang sebenarnya sepele, seperti peletakan logo atau spanduk, menjadi masalah luar biasa yang keputusannya harus dirapatkan berlarut-larut untuk mengakomodasi setiap keinginan dan kebutuhan narsistik tadi. Boleh lah kalau benar-benar bekerja kemudian menjadi narsis; tapi kalau tidak, seharusnya merasa malu kepada mereka yang telah bekerja keras dan tulus.
​
Terus Aktif di Bakti Nusantara
​
Bakti Nusantara telah mengisi kembali semangat saya. Bakti Nusantara telah membuka kembali hati saya untuk memberikan yang terbaik bagi sesama serta merasakan kembali indahnya berkolaborasi. Sejak saat itu, saya bersemangat untuk ikut berkontribusi memajukan dan mengupayakan pemerataan kesejahteraan di wilayah-wilayah Indonesia yang masih terpinggirkan, membuat saya terus aktif di Bakti Nusantara 2018 (Serang dan Pandeglang), 2019 (Natuna), dan semoga 2020 nanti (Nabire). Bahkan kini saya berani mengambil peran lebih, mengurus sekretariat Yayasan dan kegiatan media dan publikasi, hingga turut membantu pencarian dana.Hampir satu dekade tinggal di Jakarta, glamornya ibu kota justru membuka mata saya bahwa kemiskinan di Indonesia ini sifatnya sudah struktural. Tanpa intervensi dari pihak luar, penduduk miskin akan tetap miskin, terlepas apapun usaha yang mereka lakukan. Menjadi tugas kita semua yang memiliki kemampuan lebih (dalam hal ideation, kebijakan, ataupun finansial, untuk ikut berperan menyejahterakan mereka.