top of page

Cerita Darmawati Ayu Indraswari

Kevin Kegan.png

Saya Darmawati Ayu Indraswari. Nama panggilan Ayu, namun karena banyak teman perempuan lain ketika di SMA bernama Ayu, saya dipanggil Dai (inisial dari ketiga kata nama lengkap saya), hasil kreativitas teman sekamar di asrama untuk menyingkatnya. Saya lulus sebagai dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang tahun 2010, lalu mendaftar sebagai staf pengajar di FK Undip. Saat ini telah sembilan tahun menjadi PNS di situ, mengajar fisiologi untuk mahasiswa tahun pertama. Saya tinggal dengan orang tua di Semarang karena kantor hanya 10 km dari rumah dan belum menikah sehingga tidak ada alasan untuk mengurus suami, hahaha. Selain mengajar, saya juga aktif di komunitas lari di Semarang, juga mendaki gunung sesekali namun mendaki tanpa tenda alias secukupnya saja lalu pulang. Saat teman sebaya sibuk mengurus anak ketiga yang masuk SD (atau semacam itu), atau berjuang di tahap manajerial di karirnya, saya sibuk mencari kegiatan sambilan. Benar saya dokter tapi beberapa tahun terakhir tidak praktik karena satu dan lain hal. Secara umum saya punya banyak waktu luang, jadi kegiatan sosial termasuk salah satu hal yang menarik perhatian saya.

Menjelang BN 2019 terjadi karhutla di berbagai wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Natuna merupakan daerah yang juga terdampak asap akibat karhutla. Kami dibekali dengan masker N95, suatu masker penutup hidung mulut yang memenuhi standar internasional untuk mencegah partikel yang sangat kecil memasuki saluran napas. 

Agak deg-degan juga membayangkan rumah seperti apa yang akan kami tinggali dua malam ke depan. Saya bertiga dengan Ega dan Vike, semuanya dokter perempuan, sementara semua grup lain minimal serumah berempat. Dari sini pun saya merasa pastilah rumah yang kami bertiga tinggali lumayan mungil. 

Sore itu Agam, anak Pak Udin yang akan menjadi tuan rumah kami, mengantar kami ke rumahnya. “Kakak sakit,” Agam berkata singkat.

“Oh di rumah ada kakak? “

“Iya.”

“Bapak ibu mana?”

“Ndak di rumah. Adanya kakak.”

Kami menemukan Hafiz sedang berbaring di atas lantai yang tersusun atas papan kayu resak dilapisi alas berbahan vinil berpola damaskus atau semacamnya seperti taplak meja di warung-warung di Jawa. Insting dokter kami menggerakkan proses pemeriksaan fisik singkat diselingi wawancara tentang riwayat penyakitnya. Saat itu juga saya beranjak untuk mengambil obat ke Puskesdes, sementara Ega dan Vike mulai mengantri mandi. 

Jamaludin namanya. Usianya 38 tahun, saya hitung sendiri dari kisah singkatnya sebelum akhirnya saya konfirmasi. Detik-detik Pak Udin bercerita rasanya seperti rekaman tercipta untuk didokumentasikan selamanya.

Saya tidak akan bisa melupakannya: seorang anak lelaki 14 tahun memutuskan untuk merantau keluar dari Lhokseumawe menggunakan kapal dari pelabuhan terdekat. Lima setengah tahun dia habiskan di Thailand hingga dia fasih berbahasa Thai. Kembali ke Indonesia dia memutuskan berhenti berlayar di suatu tempat di sekitar Sambas, membantu para marinir ikut kapal-kapal patroli yang menghadang para pelaut asing yang memasuki zona batas negara. Pak Udin membantu sebagai penerjemah dalam komunikasi antara marinir dengan para pelaut dari Thailand. 

Beberapa bulan Pak Udin menjalani pekerjaan menjadi penerjemah tanpa beliau paham bahwa keterampilan bahasa yang dia dapat karena pengalaman hidup di Thailand layak dihargai dan diapresiasi dengan gaji yang layak. Suatu hari pak marinir yang memberinya pekerjaannya itu harus meninggalkan tempat dinas di Sambas itu untuk ditugaskan di pulau lain. Saat itu Pak Udin punya pilihan untuk mencoba kembali ke Lhokseumawe tanah kelahirannya, atau mencari penghidupan di sekitar situ. 

Ada pepatah kuno yang tertanam kuat di benaknya, bahwa orang Melayu yang merantau harus pulang ke kampung halaman. Jika lebih dari enam tahun tidak pulang, diyakini bahwa alasan ketidakpulangan itu adalah sang perantau telah tiada. Kehabisan waktu, pak Udin mencari kapal yang bisa membawanya ke Aceh. Di perjalanan dia kehabisan uang, dan kapal berlabuh di Pulau Natuna. Saat itulah dia memutuskan untuk membantu seorang pria yang ternyata adalah paman dari istrinya sekarang. Pulau Tiga namanya. Garis tangan Pak Udin membawanya bertemu istrinya, Bu Wan Haula dan menetap di kepulauan Natuna sejak tujuh belas tahun yang lalu.

Hingga saat ini mereka masih memiliki sebuah rumah di Pulau Tiga yang dikunjungi beberapa kali dalam setahun. Saya ingat Agam berkata bahwa pantai di pulau itu bagus. Garis pantainya panjang, pasirnya putih. Kata Pak Udin, rumah itu dibangun untuk dihuni ibu mertuanya. Namun ibu mertuanya meninggal ketika rumah belum selesai dibangun.

Dua kali sore hari saya lewati dengan bahu yang cukup lelah, lalu otomatis membayangkan merilekskan bahu dengan berbaring di atas tikar dilapis kantung tidur yang digelar seperti tikar. Saya membayangkan jika harus pulang ke tempat ini setiap hari. 

Sore itu ada waktu senggang di teras belakang yang berhadapan langsung dengan sungai. Agam duduk di sana, melahap sepiring tongkol bumbu pedas dan nasi dengan bersemangat. Semua relawan yang mengomentari lauk di Segeram sepakat bahwa ikan dan segala hasil lautnya enak dan segar. Saya selalu heran mengapa begitu banyak bumbu yang menutupi kesegaran hasil laut dan sungai ini. “Iyalah mereka orang Melayu, suka banyak bumbu, inget?!” celetuk seorang relawan merespon keheranan saya soal lauk yang selalu pedas.

“Gam kamu ingin ke Jawa?”

“Enggak.”
“Kenapa?”

“Enggak bisa main sama teman-teman.”

Sunyi. 

“Bu, suntik untuk bius sunatnya nanti sakit nggak?”

“Sakit lah, tapi cuma sebentar.”

“Aku mau bilang ke Heri kalau sakit. Biar takut dia, hahaha.”

Saya cuma tersenyum dengan mata terus melihat hasil foto di kamera mirrorless saya, sambil berpikir kapan bisa ambil foto Agam yang sangat pemalu jika difoto ini. Esoknya memang hari terakhir kami di sana, sekaligus kegiatan Sehat Nusantara yang salah satunya adalah khitan massal. Heri, teman Agam, menjadi salah satu pasien khitan.

Sore itu cukup mendung. Matahari tertutup awan jadi air sungai tidak terlalu jingga dibanding tempo hari. 

Kegiatan selama hari Senin, Selasa, dan Rabu semuanya berkesan. Di hari pertama saya bertugas menjadi moderator di Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesehatan, sebuah mini workshop mengenai berbagai topik kegawatdaruratan yang dihadiri oleh tenaga kesehatan yaitu bidan, perawat, dan dokter. Yang mengesankan bagi saya adalah ketangkasan para peserta. Mungkin kreativitas mereka terasah setelah cukup lama berdinas di pulau terluar Indonesia. Eh, atau entah apa.

Di hari terakhir saya bertugas sebagai bagian farmasi di rumah sakit lapangan. Rumah sakit lapangan adalah bentuk kegiatan bakti sosial paling praktis yang bisa dilakukan. Dalam perspektif yang lebih pesimis, pengobatan gratis semacam ini hanya menyelesaikan masalah sesaat yang sering diada-adakan oleh warga setempat yang mendapat kupon gratis sebagai pasien. Pemberian obat dibatasi, pemeriksaan juga terbatas. Satu-satunya hal yang bisa disyukuri terkait jenis kegiatan ini adalah obat-obatan yang sudah diadakan demi RS lapangan ini disumbangkan ke pusat pelayanan kesehatan setempat. Karena obat yang kami bawa sangat banyak, kami membagi obat untuk Puskesdes Desa Segeram dan Puskesmas Desa Sedanau di seberang pulau.

Bicara soal Sedanau, tempatnya memang berbeda pulau namun dari cerita para warga, tempat itu lebih maju dan berkembang. Bahkan warga Segeram harus menempuh perjalanan dengan pompong, perahu motor kecil, selama sejam ke pulau itu untuk membeli banyak kebutuhan dasar hidup. 

Pemeriksaan laboratorium sederhana berupa gula darah sewaktu, kolesterol, dan asam urat juga cukup mengesankan bagi saya. Sebagian besar hasil pemeriksaan kolesterol warga yang berobat menunjukkan kadar yang lebih tinggi di atas nilai normal. Bisa diduga hal ini disebabkan oleh tingginya kadar kolesterol makanan sehari-hari warga. Ikan, kerang, gonggong (kerang kecil), kerang sedang (lupa namanya!), kepiting... Saya belum melihat seekor pun udang dihidangkan selama kami di sana, padahal udang sebagai sumber kolesterol membawa antidotnya sendiri: cangkangnya yang mengandung chitosan, suatu antikolesterol yang andal. Saya jadi memikirkan kemungkinan adanya hasil bumi di ujung barat daya pulau Natuna ini yang memiliki sifat antikolesterol. Saya pun mengenai demografi warga Segeram yang sebagian besar tampaknya usia produktif dan anak usia sekolah. Apakah minimnya lansia artinya harapan hidup pendek atau justru semua lansia telah habis merantau meninggalkan desa ini?

Kepulangan kami diantarkan oleh Hafiz yang tersenyum cerah. Wajahnya merona, berbeda kontras dengan wajah pucat yang kami temui pertama kali dua hari sebelumnya. Demamnya sudah lama pergi. Sakit kepalanya entah ke mana. Alhamdulillah. Beberapa hari setelah kami kembali ke Pulau Jawa, ada SMS masuk dari Hafiz yang menanyakan kabar Ega. Setiap mengingat Pak Udin sekeluarga, saya masih merasa pilu. Kepiluan yang tidak nyaman tapi mungkin sesungguhnya kami rindukan. Mungkin bukan pilu, tapi rasa yang semakin asing berupa kebahagiaan dalam kesederhanaan.

 

Beberapa tahun dari sekarang, pulau-pulau terluar di Indonesia mendapat sentuhan BN, dan gerakan-gerakan serupa BN mulai menjamur. Yayasan-yayasan non profit atau LSM semakin banyak yang merasa bahwa daerah-daerah terdepan negeri ini layak mendapat kunjungan dan perhatian selama beberapa waktu, diwarisi sesuatu yang bisa mereka kelola bahkan kembangkan sendiri.

 

LSM ada di dunia ini untuk melengkapi program-program pemerintah. Sinergi dengan kementerian terkait sangat penting. Sebagai relawan di kegiatan Sehat Nusantara, saya bermimpi Kemenkes menjadi bagian dari kegiatan SN. Saya bermimpi SN dengan bantuan teknis, birokrasi, maupun material dari kementerian menghimpun data prioritas masalah khas daerah tujuan BN kemudian menerapkan solusi jangka panjang. Hal ini penting, tidak hanya agar masalah terselesaikan, namun juga alokasi dana dan program kementerian bisa disalurkan tepat sasaran. Selain itu pemberdayaan masyarakat yang menjadi napas BN juga diterapkan dengan baik. Cita-cita negara untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan masyarakat bisa terwujud dengan cara ini.

bottom of page