top of page

Cerita Alhaynurika Nevyla Putri

Kevin Kegan.png

Selalu ada cerita di setiap Bakti Nusantara. Siang itu, di bawah terik matahari Desa Sekon yang cukup menyengat kulit, seorang wanita dengan setelan blus dan rok warna hitam yang sangat sederhana berdiri di ujung luar tenda rumah sakit lapangan. Tersirat keraguan di wajahnya untuk masuk ketika melihat meja pendaftaran mulai dibereskan dan seorang tentara berjaga di dekatnya mengumumkan pendaftaran sudah ditutup. Sembari melihat sekeliling tenda, saya berjalan mendatangi ibu itu, membuka obrolan untuk mendapat jawaban atas rasa penasaran saya. Singkat cerita, di hari keempat dari diare tak kunjung henti yang dialaminya, beliau mendengar info tentang pengobatan gratis Bakti Nusantara. Datanglah beliau berjalan kaki kemari dari rumahnya yg cukup jauh dari SMP Sekon, pun jauh dari Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya. Tidak tega rasanya untuk meminta beliau pulang kembali karena rumah sakit lapangan sudah ditutup dan kami harus segera kembali bersiap untuk pulang. Akhirnya, saya minta beliau tunggu sebentar, sembari saya lari ke bagian farmasi dan mengambilkan obat untuk beliau. Di suatu hari saat Bakti Nusantara setahun kemudian di Pandeglang, lokasi kegiatan Sehat Nusantara terbagi menjadi dua titik: rumah sakit lapangan di gedung sekolah baru dan pelayanan kesehatan reproduksi wanita di Puskesmas. Pagi itu kami turun dari truk TNI di dekat gedung sekolah, dan saya melanjutkan perjalanan ke Puskesmas dengan mobil. Jalan di depan Puskesmas memang sudah beraspal, tapi, dari lokasi rumah sakit lapangan, diperlukan waktu tempuh sekitar satu jam dengan kondisi jalan berbatu dan bertanah tanpa aspal, yang semakin sulit dilewati akibat hujan. Saya bertanya-tanya, kalau ada suatu kegawatdaruratan medis yang perlu dirujuk segera dari kedua tempat ini, bagaimana ya? Atau jangan-jangan mereka tidak pernah datang ke fasilitas kesehatan “terdekat” untuk memeriksakan kesehatannya? Apalagi mengingat “terdekat” bagi mereka berarti harus melewati medan yang sulit dengan sarana transportasi yang terbatas.

 

Tahun ini menjadi tahun ketiga saya bergerak bersama Bakti Nusantara, khususnya Sehat Nusantara. Sebuah ucapan syukur terlantun bisa mencicipi barang secuil saja kehidupan di Kampung Segeram. Tinggal di rumah penduduk, bertemu kamar mandi dengan air yang tidak jernih dan sebagian langsung menyatu dengan laut, menikmati malam-malam gelap tanpa lampu dan hari-hari tenang tanpa sinyal. Awalnya masih biasa saja. Baru sehari. Merasa bisa memaklumi kondisi yang ada. Barulah di hari berikutnya terbesit di benak saya, mereka harus  berdamai hidup dengan kondisi yang seperti ini sedari kapan? Dan akan sampai kapan? Sedih sekali rasanya mendengar tidak banyak hal yang berubah dari kampung ini sejak dulu. Benar-benar tertinggal. Tidak mungkinkah mereka memiliki kehidupan yang lebih baik? 

 

Sejatinya, masalah (kesehatan) pasti ada, dan akan selalu ada di mana saja, baik di daerah maju maupun daerah tertinggal. Namun, solusi yang ada tampak sangat mudah dijangkau di daerah-daerah yang sudah maju, yang penduduknya bisa menikmati perkembangan teknologi yang sangat cepat dan dunia yang tanpa batas. Bagaimana dengan daerah yang tidak memiliki akses? Enam tahun kuliah di fakultas kedokteran di kota besar, rasanya tidak cukup menunjukkan pada saya bagaimana upaya kesehatan di negeri ini belum merata, sungguh sangat timpang. Setelah lulus di tahun 2018, saya lebih banyak bekerja di bidang ilmu kesehatan masyarakat, suatu cabang ilmu (dan seni) kesehatan yang lebih berfokus pada pencegahan penyakit dan upaya peningkatan kesehatan dari sudut pandang populasi dan komunitas. Saya tertarik dengan bagaimana determinan sosial dan pembangunan berperan dalam kesehatan masyarakat, terutama di daerah rural.

Bakti Nusantara membuka mata saya, bahwa masalah-masalah daerah tertinggal yang selama ini hanya bisa saya baca dan dengar, memang nyata adanya. Mereka harus menghadapi suatu keterbatasan yang sulit untuk mereka atasi sendiri. Keterbatasan yang menghambat hak mereka untuk mendapat pendidikan yang layak, untuk sehat, untuk berdaya. Tahun 2017, saya datang tanpa tahu pasti apa yang sudah disiapkan dan apa yang akan saya lakukan sebagai relawan di Sekon. Tahun 2018, saya mulai terlibat dalam persiapan acara dan koordinasi hal-hal teknis dengan para PIC dan pihak yang bersangkutan di Banten. Tahun 2019, saya berkesempatan berangkat ke Natuna lebih dulu dan mendengar kisah dari pejuang-pejuang hebat di belakang layar. Lagi, Bakti Nusantara membuka mata saya bahwa upaya untuk menjadi solusi dari masalah-masalah yang ada juga tidak mudah. Tidak pernah semudah membalikkan telapak tangan. Tapi, Tuhan selalu baik. Lewat semesta-Nya, selalu ada dukungan yang tak terduga untuk melancarkan niat baik dari orang-orang yang peduli dengan sesama, orang-orang yang tergerak untuk memajukan bangsanya.

 

Dengan kekuatan dan tantangan yang berhasil dilewati dari tahun ke tahun, saya percaya Bakti Nusantara akan konsisten melanjutkan perjuangannya dari titik-titik terluar untuk Indonesia yang lebih maju dengan merata. Terlebih lagi, merangkul dan mengajak mereka untuk juga memberi manfaat bagi sekitarnya sebagai manusia dan sebagai saudara setanah air. Dengan rencana dan gotong-royong lintas sektor dari berbagai elemen bangsa yang lebih matang, juga sistem pelaksanaan dan follow up yang lebih tertata, gerakan ini bisa memberikan dampak yang bermakna kepada lebih banyak masyarakat Indonesia di daerah 3T. 


 

Salam hangat dari Yogyakarta,

 

Alhaynurika Nevyla Putri

Relawan Sehat Nusantara

bottom of page