Cerita Sagita Mega
Saya Kunkun, seorang mahasiswa angkatan 2013 yang baru saja lulus. Yang saya lakukan sehari-hari biasa-biasa saja, bangun sedikit terlambat dari seharusnya, lalu buru-buru bersiap untuk berangkat ke mana pun tujuan saya hari itu, pulang, mengerjakan beberapa hal, lalu bersiap untuk tidur lagi.
Sudah lama memang saya berniat untuk mengikuti kegiatan BN, tetapi selalu saja ada alasan yang membuat saya “memilih” untuk tidak ikut. Saya sangat bersyukur tahun ini saya bisa dan memilih untuk ikut berpartisipasi. Saya percaya tidak ada yang namanya kebetulan dalam hidup kita ini, semua sudah Tuhan atur dan saya rasakan semuanya dalam BN kali ini, apa yang saya dapatkan benar-benar berhubungan dengan beberapa masalah dalam kehidupan pribadi saya.
​
BN tahun ini, kami tinggal di rumah-rumah warga. Saya, Kak Dai dan Kak Vike mendapat satu rumah kayu sederhana di tepi sungai. Di dalam rumah itu, tinggal Bapak dan Ibu Udin dan 2 orang anaknya, Apis dan Agam yang masih SMP. Ada serambi kecil menghadap sungai yang menjadi tempat berkumpul beberapa relawan untuk menikmati suasana matahari terbit dan terbenam.
Hari pertama kami sampai, sempat kami mengobrol dengan bapak. Ternyata beliau seorang imigran dari Aceh, dengan berbagai realita hidupnya, sampailah beliau di Segeram bersama istri dan dua anaknya, membangun rumah kayu itu. Tidak akan ada yang menyangka juga bahwa beliau bisa berbahasa Thailand dengan fasih.
​
Saat malam renungan bagi para relawan, satu kalimat Bang Teguh “Anak yang baik, pasti orang tuanya juga mendidik dengan baik” membuat saya teringat momen kecil di rumah kayu sederhana itu. Suatu hari, saat kami sedang bersiap-siap untuk berangkat, ibu sudah tidak ada dirumah karena membantu menyiapkan sarapan bagi para relawan di dapur umum, bapak belum pulang dari berlayar, Apis masih tertidur di dalam kamar karena sakit, dan Agam sedang menyapu rumah. Dia juga membantu menjemur pakaian, bantal, guling, dan mengambilkan makanan untuk kakaknya yang sedang sakit.
​
Mungkin hal ini terdengar biasa dibanding pengalaman relawan-relawan yang lain, tetapi melihat kedekatan dan kerjasama baik dalam satu keluarga adalah hal yang paling saya rindukan dalam hidup saya. Segeram ini kesulitan dalam sumber daya manusia karena para orang tua ingin menyekolahkan anaknya, sehingga mereka rela bermigrasi satu keluarga ke tempat lain yang memiliki sekolah. Waktu itu Tuhan letakkan saya di tempat itu, dimana tampak kasih sayang orang tua pada anaknya, tampak pengorbanan yang mereka berikan kepada anaknya.
Yang saya pikirkan saat ini adalah, apakah saya sudah menjadi anak yang baik sehingga orang lain bisa melihat betapa baiknya orang tua saya?
​
Masih sangat banyak momen-momen singkat yang saya alami saat BN yang membekas dalam hidup saya. Saya harap BN akan terus menebarkan kebaikan di Nusantara. Sebagai relawan, saya tidak hanya membantu saudara-saudara kita di Segeram tetapi ternyata lebih banyak yang saya dapatkan. Saya melihat teman-teman relawan saya yang cekatan, sigap, dan problem solver yang sangat baik. Membuat saya berkaca dengan diri saya sendiri, masih sangat sedikit yang saya berikan dan ternyata masih banyak hal baik yang bisa kita lakukan.
​
Membenarkan kalimat yang pernah saya dengar sebelumnya, berkumpul dengan orang-orang baik akan membuat kita menjadi orang yang baik pula. Saya harap akan semakin banyak orang yang sadar untuk menjadi orang yang baik dengan kegiatan BN selanjutnya. Salam WOW untuk relawan BN lainnya, kalian semua luar biasa dan saya pribadi sangat kagum dengan teman-teman semua. WOW!