top of page

Cerita Teguh Dwi Nugroho

Kevin Kegan.png

Saya adalah dokter spesialis bedah di RSUD Kefamenanu sejak September 2016. Satu tahun lebih saya di RSUD sebagai satu–satunya dokter bedah di kabupaten Timor Tengah Utara tersebut. Keseharian saya tidak jauh dari RSUD untuk selalu berjaga terhadap pasien–pasien yang memerlukan pelayanan bedah. Sebuah kebanggaan untuk saya pribadi bisa membawa nama Bakti Nusantara dan mengenalkannya ke lebih banyak orang setiap tahunnya. Apabila di 2017, saya bekerja langsung di lapangan dan mengumpulkan relawan lokal di sekitaran kabupaten TTU dan provinsi NTT. Pada 2018, saya menjadi koordinator Sehat Nusantara dan berusaha mengajak ratusan tenaga kesehatan se-Nusantara yang mau bergerak bersama di Pandeglang–Serang. Lebih dari dua ratusan orang saat itu sudah saya hubungi demi bergerak bersama di 2018.

​

Pada tahun ini, saya mendapat dorongan dan motivasi untuk lebih menyebarkan lagi Bakti Nusantara ini ke lebih banyak orang dan lebih luas profesi, tanpa sedari awal melihat dan mengutamakan suku, agama, dan ras tertentu. Saya menghubungi tidak kurang dari tujuh ribu orang secara pribadi untuk mengajak semua bergerak bersama Bakti Nusantara. Dari sedemikian banyak orang yang saya hubungi, memang kurang dari sepuluh persennya yang merespon dan lebih sedikit lagi yang akhirnya ikut dan benar–benar membantu pergerakan ini. Tetapi dasar dan tujuan awal saya adalah untuk memberitahukan tentang Bakti Nusantara terlebih dahulu kepada lebih banyak orang. Saya percaya bahwa gerakan ini harus dikenal terlebih dahulu sebelum akhirnya dipercaya. Kepercayaan hanya bisa dilahirkan, tidak dipaksakan. Dilahirkan dari usaha–usaha tulus yang dilakukan tanpa henti demi manfaat kepada banyak orang yang memang membutuhkan.

Usaha ini didasari dengan semangat kepedulian terhadap sesama anak bangsa di daerah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal) Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan menjadi inspirasi dalam membangun sebuah peradaban yang maju, beradab, dan berkarakter. 

​

Bagi saya BN 2019 ini adalah tentang regenerasi, tentang mencari dan memberikan tanggung jawab serta kepercayaan yang lebih besar kepada para pengurus muda ataupun baru. Saya pun bagian dari regenerasi ini. Saya dipercaya oleh Bang Aryo Asto Saloko, Ketua Yayasan Tunas Bakti Nusantara, menjadi direktur eksekutif Yayasan ini, setelah di Bakti Nusantara sebelumnya saya menjadi koordinator Sehat Nusantara. Saya masih menilai diri saya sebagai seorang yang nyaman sebagai pekerja teknis dan taktis di lapangan. Tetapi amanah baru saya ini, membuat saya harus berpikir strategis dan mau dibawa kemana Yayasan dan kegiatan Bakti Nusantara ini. Indahnya Bakti Nusantara ini adalah ternyata dari awal saya tidak sendiri dan sampai akhir kita memang selalu bersama dalam gerakan ini. Hal inilah yang membuat perjalanan saya di 2019 juga sangat menarik.

Bagaimana saya bertemu dengan banyak orang yang sudah sangat sukses di kehidupannya, mempunyai jabatan yang penting, dan lain sebagainya untuk belajar bagaimana membuat Yayasan menjadi lebih besar dan bisa jadi lebih bermanfaat lagi. Hal itu selalu menarik dan membuat saya belajar setiap harinya di Bakti Nusantara. 

​

Selain saya yang banyak belajar hal baru di Bakti Nusantara, saya juga mendorong rekan–rekan pengurus untuk mengambil tanggungjawab yang lebih besar dan memotivasi mereka untuk menjalankan sebaik–baiknya. Hasilnya luar biasa secara kolektif. Kegiatan Bakti Nusantara 2019 adalah kegiatan BN tersukses selama ini. Di akhir kegiatan, kita semua bersyukur dan melihat ke belakang, ini luar biasa bisa sampai pada kondisi begini. Namun kami sadar bahwa masih banyak yang bisa dibenahi dan makin baik kedepannya. Banyak adik – adik yang bermunculan dan sangat hebat dalam BN kali ini, sebut saja dalam kepengurusan ada Bang Andito, Assed, Sri Gusni, Dhira, Huda, Awo, Kevin, YB, Awe, Puput, Titis, Anyo, Acok; di kepanitiaan lokal ada Bang Sayed, Chalid, Bang Ilus, Bang Zaenal, Bang Monang, Bang Adityo, dan Rizal. Di balik semua orang yang langsung terjun di lapangan saat itu, dukungan dari rekan–rekan yang tidak hadir pun sangat hebat. Semuanya bergerak aktif saling mengisi dengan padu apa saja yang dibutuhkan untuk maju ke depan dan menyelesaikan kegiatan ini dengan baik. Perpaduan nama baru dan nama yang sudah berpengalaman saling bergerak bersama, ini luar biasa. 

​

Pengalaman berkesan saya selama mempersiapkan Bakti Nusantara 2019 ini adalah saya mewakili BN secara lebih luas ke banyak orang dibandingkan dengan tahun–tahun sebelumnya. Di Batam dan Tanjung Pinang, saya bertemu dengan sekitar empat puluhan orang untuk menceritakan dan menyebarkan semangat Bakti Nusantara, hasilnya entah berapa puluh juta rupiah yang terkumpul dan banyak bantuan lainnya demi pergerakan ke Segeram. Saya juga berkesempatan ke Singapura dan menyebarkan semangat BN di hadapan belasan orang, dan terkumpul seratusan juta rupiah dan juga banyak bantuan lainnya. Saya merasakan bahwa semangat itu ada dan nyata. Semangat untuk bersatu bergerak demi bangsa Indonesia tercinta ini. Semangat yang memerlukan wadah yang tepat dan bisa dipercaya untuk bisa menyalurkannya dengan baik dan sesuai sasaran yang memang membutuhkan. 

​

Waktu emas saya di Bakti Nusantara 2019 ini adalah momen saya dengan Wahyu, siswa SMPN Satap 3 Bunguran Barat. Saat itu sore hari setelah segala kegiatan selesai di sekitaran SMP, kami berjalan bersama menuju tempat tinggal kami, kebetulan rumah tinggal kami ada di depan rumahnya Wahyu. Saat kami berjalan santai melewati Masjid Segeram dia mengajak saya untuk berdoa bersamanya nanti di Masjid, tapi saya menolaknya dengan halus, “Nanti Wahyu sembahyang di masjid tapi pak dokter tunggu di luar saja ya.” Tapi Wahyu tetap merasa aneh dan memaksa saya untuk ikut sholat bersamanya di dalam masjid. Akhirnya saya mengatakan, “Pak dokter berdoanya di gereja, bukan di masjid Yu.” Kemudian Wahyu menatap kaget dan bingung ke saya sambil berulang kali bertanya, “Kog Pak Dokter engga ngomong kalau Pak Dokter bukan Muslim?” Pertanyaan yang coba saya pikirkan mendalam dahulu sebelum menjawabnya. “Kenapa Pak Dokter harus ngomong kalau Pak Dokter bukan Muslim?”, pertanyaan yang juga tidak dijawab oleh Wahyu. Tapi saya melanjutkan dengan, “Wahyu tetap sayang kan sama Pak Dokter walaupun Pak Dokter bukan Muslim? Pak Dokter sayang lho sama Wahyu, Pak Dokter tetap bantu dengan tulus dan sukacita di kampungnya Wahyu.” 

​

Suatu kepolosan anak kecil yang mungkin sebenarnya akan banyak kita temui di daerah terpencil, yang mungkin perbedaan itu tidak ada. Di daerah itu mungkin semuanya satu suku, satu ras, dan satu agama. Bahwa mungkin perbedaan itu bukan sesuatu yang biasa ditemui dan akan dianggap masalah. Tetapi di tempat yang lebih maju dan terpapar oleh teknologi serta pembangunan, perbedaan itu ada dan biasa. Kita berharap dengan memberikan warna perbedaan yang baik kepada Wahyu, dasar toleransinya terhadap perbedaan akan menjadi lebih baik. Bhineka Tunggal Ika,  berbeda tapi tetap satu jua. Semboyan ini memiliki makna yang sangat besar bagi bangsa Indonesia yang memang memiliki perbedaan yang sangat besar antara tiap daerah di Indonesia. Dimana semboyan ini adalah cara Indonesia menyatukan wilayah yang memiliki latar belakang dan sejarah yang berbeda tiap daerahnya. 

bottom of page